KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana telah memberikan kami semua kekuatan
serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah Sosiologi Hukum
yang berjudul “ALIRAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE” dapat selesai seperti waktu yang telah kami rencanakan.
Tersusunnya karya ilmiah atau
makalah ini tentunya tidak lepas dari peran
serta berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara materil dan
spiritual, baik secara langsung maupun tidak langsung.
1. Bapak Dosen pengasuh mata kuliah Sosiologi
Hukum UNM.
2. Teman-teman kelompokyang telah
membantu dan memberikan dorongan semangat agar makalah ini dapat kami
selesaikan.
Semoga Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Penyayang membalas budi baik yang tulus dan ihklas kepada
semua pihak yang penulis sebutkan di atas.
Tak ada gading
yang tak retak, untuk itu kamipun menyadari bahwa makalah yang telah kami susun
dan kami kemas masih memiliki banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan baik
dari segi teknis maupun non-teknis. Untuk itu penulis membuka pintu yang
selebar-lebarnya kepada semua pihak agar dapat memberikan saran dan kritik yang
membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan mendatang. Dan apabila di
dalam makalah ini terdapat hal-hal yang dianggap tidak
berkenan di hati pembaca mohon dimaafkan.
Makassar, 11 Maret 2014
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
………………………………………… 1 DAFTAR ISI …………………………………………………… 2
BAB 1
PENDAHULUAN……………………………………… 3
A.Latar Belakang………………………………………. 3 B
.Rumusan Masalah………………………………….. 4 C.Tujuan………………………………………………… 4
BAB II
PEMBAHASAN………………………………………. 5
BAB III
PENUTUP…………………………………………… 11
A.Kesimpulan………………………………………….. 11
B.Saran…………………………………………………. 11
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………. 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat hukum menurut Purnadi Purwacaraka dan
Soerjono Soekanto (1979:2) mengatakan “ Filsafat
hukum adalah perenungan dan perumusan nilai- nilai kecuali itu filsafat hukum
juga mencakup penyerasian nilai-nilai misalnya : penyerasian antara ketertiban
dengan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara
kelanggengan/konservatisme dengan pembaharuan:.
Kesulitan pertama yang banyak dialami dalam
memahami hukum yaitu berfikir mengenai hukum dengan cara yang telah ditentukan
dalam ilmu hukum, mengaitkan satu sama lain sebab dengan sebab lainnya, yang
satu dengan hal yang timbul karenanya. Alam berfikir hukum adalah berfikir
khas, dengan karakteristik yang tidak ditemui dalam cara-cara berfikir yang
lain.
Positivisme hukum atau disebut juga mazhab
formalistik, mencoba menjawab masalah-maasalah hukum melalui sistem-sistem
norma, aturan-aturan, bagi aliran ini alam berfikir hukum adalah berfikir
normatif bahkan cenderung legisme. Aliran sosiologis mengemukakan cara yang
bisa dikatakan sangat bertolak belakang dengan cara positivisme hukum, yaitu
mencoba melihat konteks, memfokuskan cara pandang hukum terhadap pola
kelakuan/tingkah laku masyarakat, sehingga cenderung menolak aturan-aturan
formal (yang dibuat oleh lembaga formal seperti DPR, dengan bentuk peraturan
perundang-undangan).
Dalam filsafat hukum ada beberapa aliran atau
mazhab sebagai berikut:
1. Mazhab Hukum Alam
2. Mazhab
Formalistis
3. Mazhab Kebudayaan
dan Sejarah
4. Utilitarianisme
5. Sociological
Jurisprudence
6. Realisme Hukum
7. Critical Legal
Studies
8. Feminisme
Jurisprudence
9. Semiotika
Jurisprudence
Diantara aliran atau
mazhab tersebut yang akan dibahas disini adalah Sociological Jurisprudence.
Aliran Sociological Jurispurdence sebagai salah
satu aliran pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam
kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup di antara masyarakat. Aliran ini
secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan
hukum yang hidup (the living law). Singkatnya yaitu,
aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum
yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak
tertulis. Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan Undang- Undang
sebagai hukum tertulis, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak tertulis disini
adalah hukum adat yang dimana hukum ini adalah semulanya hanya sebagai
kebiasaan yang lama kelamaan menjadi suatu hukum yang berlaku dalam adat
tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat yang mengenal
hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim
merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
Menurut ilmu hukum
dan filsafat hukum, maka usaha pembaharuan hukum dapat dikatakan bahwa Negara
Republik Indonesia dalam kebijaksanaan pembinaan hukumnya menganut teori
gabungan dari apa yang dikenal sebagai aliran sociological jurisprudence dan
pragmatic jurisprudence. Aliran sociological jurisprudence ialah aliran yang
menghendaki bahwa dalam proses pembentukan pembaharuan hukum harus
memperhatikan kesadaran masyarakat. Memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat. Tokoh mazhab yang mengemukakan aliran ini adalah Eugen
Ehrlich dan Roscoe Pound.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apakah
Sociological Jurisprudence?
2. Bagaimana
kritik terhadap Aliran Sociological Jurisprudence?
3. Bagaimana peran Strategis Hakim dalam
Perspektif Sociological Jurisprudence ?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.Untuk
mengtahui apa Sociological Jurisprudence
2.Untuk
mengetahui kritik terhadap Aliran Sociological Jurisprudence
3.Untuk mengetahui
peran hakim dalam perspektif sociological jurisprudence
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran Sociological
Jurisprudence
Pendasar
aliran ini, antara lain: Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin Cardozo,
Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran ini berkembang di Amerika, pada
intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata “sesuai” diartikan
sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.
Aliran
Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum
menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran
ini :
“
Hukum yang baik haruslah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup di antara masyarakat”.
Menurut Lilirasjidi, Sociological
Yurisprudence menggunakan pendekatan hukum kemasyarakatan, sementara sosiologi
hukum menggunakan pendekatan dari masyarakat ke hukum. Menurut Sociological
Yurisprudence hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup dalam msyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Aliran ini timbul
sebagai akibat dari proses dialektika antara (tesis) positivisme hukum dan
(antitesis) mazhab sejarah.
Roscoe Pound,
hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas ilmu hukum untuk
mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat
terpenuhi secara maksimal.
Pound juga menganjurkan untuk mempelajari
hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan hukum yang
tertulis (law in the books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang
hukum, baik hukum substantif, maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan
masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan.
Eugen Ehrlich,
Penulis yang pertama kali menyandang sosiolog hukum (Grundlegung der Soziologie
des Recht, 1912). Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak
terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam
masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan
hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum
dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Hukum positif hanya akan efektif apabila
selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda
dengan Sosiologi Hukum. Berarti bahwa
hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat. Dijelaskan
oleh Roscoe Pound dalam kata pengantar pada buku Gurvitch yang berjudul
Sosiologi hukum, perbedaan diantara keduanya ialah :
v Sociological Jurisprudence itu merupakan suatu
madzab/aliran dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik
antara hukum dan masyarakat, sedangkan
v Sosiologi Hukum adalah cabang sosiologi
mempelajari hukum sebagai gejala sosial.
Sosiologi
hukum sebagai cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada
hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat
mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu
pengaruh hukum terhadap masyarakat.
Dari
dua hal tersebut (sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat
dibedakan cara pendekatannya. Sociological jurisprudence, cara pendekatannya
bertolak dari hukum kepada masyarakat, sedangkan sosiologi hukum cara
pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada hukum.
Roscoe
Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social
engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan
keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia
dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan
tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang
bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang
dilakukan oleh penguasa negara.
Aliran
ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law)
dengan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara
(tesis) Positivisme Hukum (antitesis) dan Mazhab Sejarah. Sebagaimana
diketahui, Positivisme Hukum memandang tiada hukum kecuali perintah yang
diberikan penguasa (law is a command of law givers), sebaliknya Mazhab Sejarah
menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat.
Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang
kedua lebih mementingkan pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap
keduanya sama pentingnya. Aliran sociological jurisprudence ini memiliki
pengaruh yang sangat luas dalam pembangunan hukum Indonesia.
Singkatnya yaitu,
aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum
yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak
tertulis.
Misalnya dalam hukum yang
tertulis jelas dicontohkan Undang- Undang sebagai hukum tertulis, sedangkan
yang dimaksudkan hukum tidak tertulis disini adalah hukum adat yang dimana
hukum ini adalah semulanya hanya sebagai kebiasaan yang lama kelamaan menjadi
suatu hukum yang berlaku dalam adat tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat
yang mengenal hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan
peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat. Untuk itu Hakim harus terjun ditengah-tengah masyarakat
untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.
Ehrlich
mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada
badan-badan legislatif, keputusan- keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum,
akan tetapi justru terletak dalam masyaratak itu sendiri. Tata tertib dalam
masyarakat didasarkan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara.
Sementara itu Rescoe Pound berpendapat, bahwa hukum harus dilihat atau
dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas dari ilmu hukum untuk
memperkembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat
terpenuhi secara maksimal.
Pound
menganjurkan untuk mempelajari Ilmu Hukum sebagai suatu proses ( law in
action), yang dibedakan dengan hukum tertulis ( Law in books). Pembedaan ini
dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif maupun hukum
ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masaalah apakah hukum yang ditetapkan
sesuai dengan pola-pola perikelakuan. Ajaran-ajaran tersebut dapat diperluas
lagi sehingga juga mencakup masalah-masalah keputusan-keputusan pengadilan
serta pelaksanaannya, dan juga antara isi suatu peraturan dengan efek-efeknya
yang nyata.
B. Kritik
terhadap Aliran Sociological Jurisprudence
Sekalipun
aliran sociological jurispridence kelihatannya sangat ideal dengan cita hukum
masyarakat yang terus-menerus berubah ini, karena mengutamakan bagaimana suatu
hukum itu menjadi baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Tetapi, aliran ini bukanlah tanpa kritik.
Suatu
hal yang patut dipahami, bahwa dalam program sosiologi jurisprudence Pound, lebih mengutamakan tujuan praktis dengan :
1) menelaah akibat
sosial yang aktual dari lembaga hukum dan doktirin hukum, karena itu , lebih
memandang kerjanya hukum dari pada isi abstraknya
2) memajukan telaah
sosiologis berkenaan dengan telaah hukum untuk mempersipakan
perundang-undangan, karena itu, menganggap hukum sebagai suatu lembaga sosial
yang dapat diperbaiki oleh usaha yang cerdik guna menemukan cara terbaik untuk
melanjutkan dan membimbing usaha usaha demikian itu
3) mempelajari cara
membuat peraturan yang efektif dan menitik beratkan pada tujuan sosial yang
hendak dicapai oleh hukum dan bukannya pada sanksi
4) menelaah sejarah
hukum sosiologis yakni tentang akibat sosial yang ditimbulkan oleh doktrin
hukum dan bagaimana cara mengahasilkannya
5) membela apa yang
dinamakan pelaksanaan hukum secara adil dan mendesak supaya ajaran hukum harus
dianggap sebagai bentuk yang tidak dapat berubah
6) meningkatkan
efektifitas pencapaian tujuan yang tersebut diatas agar usaha untuk mencapai
maksud serta tujuan hukum lebih efektif.
Program
sosiologis jurisprudence Pound kelihatan berpengaruh dalam pandangannya yakni
apa yang disebut dengan hukum sebagai social engineering serta ajaran
sociological jurisprudence yang dikembangkannya. Dimana hukum yang baik itu
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini
mengetengahkan pentingnya hukum yang hidup dalam masyarakat. Dimana hukum
positif akan baik apabila ada hubungan dengan peraturan yang terletak di dasar
dan di dalam masyarakat secara sosilogis dan antropologis. Tetapi tidak mudah
untuk mewujudkan cita hukum yang demikian. Tidak saja dimungkinkan oleh adanya
perbenturan antara nilai-nilai dan tertib yang ada dalam masyarakat sebagai
suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya. Terutama dalam masyarakat
yang pruralistik. Tetapi sama sekali tidak berarti tidak bisa diterapkan.
Dalam
masyarakat yang monoistik, tidak begitu sukar menerapkan ajaran sociological
jurisprudence. Berbeda halnya dengan masyarakat yang memiliki pruralistik
seperti masyarakat Indonesia dimana nilai-nilai dan tata tertibnya
masing-masing serta pola perilaku yang spesifik pula adalah tidak mudah
menerapkan ajaran sociological jurisprudence.
Berdasarkan
fakta bahwa setiap kelompok mempunyai tata tertib sendiri, dan fakta bahwa
hubungan antara tertib ini adalah terus menerus berubah menurut tipe masyarakat
yang serba meliputi, yang terhadapnya negara hanyalah merupakan suatu kelompok
yang khusus dan suatu tata tertib yang khusus pula. Dalam menerapkannya
diperlukan berbagai pendekatan untuk memahami dan menginventarisasi nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat majemuk yang memiliki
tata tertib sendiri dan pruralitik.
Menurut
Pound, hukum di pandang sebagai lembaga masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial. Disisi lain, Friedman mengemukakan, secara teoritis
karya Ehrlich, menunjukkan adanya tiga kelemahan pokok terhadap ajaran
sociological jurisprudence yang dikembangkan Ehrlich, yang semuanya disebabkan
oleh keinginanannya meremehkan fungsi negara dalam pembuatan
undang-undang.
Kelemahan
itu adalah :
Ø Karya tersebut tidak memberikan kriteria yang
jelas membedakan norma hukum dari norma sosial yang lain. Bahwa keduanya tidak
dapat dipertukarkan, sesuatu yang merupakan fakta historis dan sosial, tidak
mengurangi perlunya pengujian pernedaan yang jelas. Sesuai dengan itu sosiologi
hukum Ehrlich selalu hampir menjadi suatu dalam garis besar, sosilogi umum.
Ø Ehrlich meragukan posisi adat kebiasaan sebagai
sumber hukum dan adat kebiasaan sebagai satu bentuk hukum. Dalam masyarakat
primitif seperti halnya dalam hukum internasional pada zaman ketika adat
istiadat dipandang baik sebagai sumber hukum maupun sebagai bentuk hukum yang
paling penting. Di negara modern peran masyarakat mula-mula masih penting,
tetapi kemudian berangsur berkurang. Masyarakat modern menuntut sangat banyak
undang-undang yang jelas dibuat oleh pembuat undang-undang yang sah.
Undang-undang semacam itu selalu derajat bermacam-macam, tergantung dari fakta
hukum ini, tetapi berlakunya sebagai hukum bersumber pada ketaatan faktual ini.
Kebingunan ini merembes ke seluruh karya Ehrlich.
Ø Ehrlich menolak mengikuti logika perbedaan yang ia
sendiri adakan norma-norma hukum negara yang khas dan norma-norma hukum dinama
negara hanya memberi sanksi pada fakta-fakta sosial. Konsekwensinya adalah adat
kebiasaan berkurang sebelum perbuatan udang-undang secara terperinci, terutama
undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat mempengaruhi kebiasaan
dalam masya-rakat sama banyaknya dengan pengaruh dirinya sendiri.
C. Peran Strategis Hakim
dalam Perspektif Sociological Jurisprudence
Kehidupan
hukum sebagai kontrol sosial terletak pada praktek pelaksanaan atau penerapan
hukum tersebut. Tugas hakim dalam menerapkan hukum tidak melulu dipahami
sebagai upaya social control yang bersifat formal dalam menyelesaikan
konflik, tetapi sekaligus mendisain penerapan hukum itu sebagai upaya social
engineering. Tugas yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai
penerap undang-undang terhadap peristiwa konkrit (berupa berbagai kasus dan
konflik) atau sebagai sekedar corong undang-undang (boncha de la loi)
tetapi juga sebagai penggerak social engineering. Para penyelenggara
hukum harus memperhatikan aspek fungsional dari hukum yakni untuk mencapai
perubahan, dengan melakukan perubahan hukum selalu dengan menggunakan segala
macam teknik penafsiran (teori hukum fungsional). Teori Hukum Menurut Roscoe Pound “Law is a tool of social
engineering” adalah apa yang dikatakan oleh Roscoe Pound terhadap hukum
itu. Sama seperti apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, hukum adalah
keseluruhan azas-azas dan kaedah-kaedah yang mengatur masyarakat, termasuk di
dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan.
Kedua ahli hukum ini memiliki pandangan yang sama terhadap hukum.
Kepentingan
negara adalah harus yang paling tinggi/atas dikarenakan negara mempunyai
kepentingan nasional. Kepentingan nasional tersebut harus melindungi
kepentingan negara kemauan negara adalah kemauan publik. Karena hukum itu bukan
seperti yang dikatakan oleh teori-teori positivis menghukum bahwa hukum
memiliki sifat tertutup. Hukum sangat dipengaruhi oleh ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya. Tidak hanya sekedar kemauan pemerintan. Suatu
logika yang terbuka, perkembangan kebutuhan masyarakat sangat mempengaruhi
pertumbuhan hukum di dalam masyarakat. Politik sangat mempengaruhi pertumbuhan
hukum di dalam masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sociological Jurispurdence sebagai salah satu
aliran pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya
dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup di antara masyarakat. Aliran ini secara
tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan
hukum yang hidup (the living law). Roscoe Pound (1870-1964)
merupakan salah satu eksponen dari aliran ini. Dalam bukunya An introduction
to the philosophy of law, Pound menegaskan bahwa hukum itu bertugas untuk
memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian
yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum.
Dalam
aliran Sociological Jurisprudence hukum menjadi sangat akomodatif dan menyerap
ekspektasi masyarakat. Bagi Sociological Jurisprudence hukum dikonstruksi dari
kebutuhan, keinginan, tuntutan dan harapan dari masyarakat. Jadi yang
didahulukan adalah kemanfaatan dari hukum itu sendiri bagi masyarakat, dengan
demikian hukum akan menjadi hidup. Aliran sangat mengedepankan kesadaran hukum
dan rasa keadilan masyarakat. Akan tetapi hal ini berakibat hukum menjadi
demikian cair. Kritik yang terbesar yang ditujukan bagi Sociological
Jurisprudence adalah dengan pendekatan ini hukum dapat kehilangan
”taringnya“ dan tidak ajeg. Paradigma ini juga dianggap terlalu mengadaikan
suatu masyarakat telah demikian berkembang sampai pada tahap dimana tidak lagi
ada ketegangan pada pranata sosial dalam merumuskan tuntutannya, masyarakat
dianggap telah mampu menentukan hukumnya sendiri, dan mengecilkan kedaulatan
dari penguasa.
Jadi,
aliran Sosiological Yuresprudence berkembang dan membahas tentang hukum yang
ada di masyarakat. Hanya saja dalam aliran Sosiological Yurisprudence membahas tentang hukum yang berkembang atau
yang ada di masyrakat itu sendiri.
Dalam masyarakat yang
monoistik, tidak begitu sukar menerapkan ajaran sociological jurisprudence.
Berbeda halnya dengan masyarakat yang memiliki pruralistik seperti masyarakat
Indonesia dimana nilai-nilai dan tata tertibnya masing-masing serta pola
perilaku yang spesifik pula adalah tidak mudah menerapkan ajaran sociological
jurisprudence.
B.
Saran
Melihat materi sosiologi hukum mengenai
salah satu aliran atau mazhab dari filsafat hukum yaitu mengenai sociological
jurisprudence mengutip dari pendapat Soekanto bahwa aliran ini telah
memperkenalkan paling tidak teori-teori ilmu hukum walau disadari belum lah
sempurna tetapi dengan adanya aliran ini kita dapat menggambarkan bahwa betapa
pentingnya mempelajari sosiologi hukum untuk dapat mengetahui secara luas
kehidupan masyarakat yang modern inin
DAFTAR PUSTAKA ( REFERENSI )
v vocagunk.blogspot.com/.../makalah-filsafat-hukum-dengan-aliran.html
v sosiological.blogspot.com/2012/11/sosiological-jurisprudence_25.html
Pembaharuan hukum sebenarnya mengandung makna yang luas termasuk sistem hukum. Sehingga, ketika berbicara pembaharuan hukum maka pembaharuan yang dimaksudkan adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan yang meliputi struktur hukum, materi hukum dan budaya hukum. Dalam prosesnya, pembangunan ternyata ikut membawa konsekuensi terjadinya perubahan-perubahan atau pembaharuan pada aspek-aspek sosial lain termasuk di dalamnya pranata hukum. Artinya, perubahan yang dilakukan (dalam bentuk pembangunan) dalam perjalanannya menuntut adanya perubahan-perubahan dalam bentuk hukum.
Perubahan hukum ini memiliki arti yang positif dalam rangka menciptakan hukum baru yang sesuai dengan kondisi pembangunan dan nilai-nilai hukum masyarakat. Pada satu pihak, pembaharuan hukum merupakan upaya untuk merombak struktur hukum lama (struktur hukum pemerintahan jajahan) yang umumnya dianggap bersifat eksploitatif dan diskriminatif. Sedangkan pada pihak lain pembaharuan hukum dilaksanakan dalam kerangka atau upaya memenuhi tuntutan pembangunan masyarakat. Bidang hukum diakui memiliki peran yang sangat strategis dalam memacu percepatan pembangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka memenuhi tuntutan pembangunan jangka pendek tetapi juga meliputi pembangunan jangka menegah dan jangka panjang, walaupun disadari setiap saat hukum bisa berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menghendakinya.
Di negara-negara berkembang pembaharuan hukum merupakan prioritas utama, terlebih jika negara dimaksud merupakan negara yang baru merdeka dari penjajahan bangsa/negara lain. Oleh karena itu, di negara-negara berkembang pembaharuan hukum senantiasa mengesankan adanya peranan ganda. Pertama, merupakan upaya untuk melepaskan diri dari lingkaran struktur hukum kolonial. Upaya tersebut terdiri atas penghapusan, penggantian, dan penyesuaian ketentuan hukum warisan kolonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional. Kedua, pembaharuan hukum berperan pula dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju, dan yang lebih penting adalah demi peningkatan kesejahteraan masyarakat warga negara.
Saat ini di Indonesia masih terdapat banyak peraturan-peraturan hukum yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat namun tetap diper-tahankan. Dalam rangka menyongsong era global dan pasar bebas mendatang jelas peraturan-peraturan hukum tersebut memerlukan revisi dan jika perlu dirubah total dengan bobot materi yang mencerminkan gejala dan fenomena masyarakat saat ini Salah satunya adalah dengan lahirnya Undang –Undang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan Undang – Undang Cyber pertama yang akan diberlakukan di Indonesia.Undang-undang tersebut diharapkan akan menjadi dasar penegakan hukum untuk transaksi online di wilayah Indonesia meski dilakukan di dunia maya.Hal ini pembelajaran terhadap perkembangan hukum di Indonesia yang responsif terhadap perkembangan manusia.Ketentuan tentang ITE merupakan pembaharuan besar terhadap semangat merubah hukum kolonial menjadi hukum yang responsif terhadap kebutuhan dan pemanfaatan didalam masyarakat seperti yang telah dijabarkan para penganut Utilitarianisme.Kemudian semangat pembaruan diperkuat lagi dengan kewaspadaan masyarakat terhadap kejahatan di dunia maya baik dalam bentuk pengrusakan data elektronik dan kejahatan informasi.Oleh karenanya dengan desakan masyarakat yang sudah akrab dengan kemajuan teknologi maka UU ITE ini lahir.Namun Masalahnya adalah apakah proses perubahan atau pembaharuan hukum yang berlangsung di Indonesia telah dilakukan sesuai dengan kaedah-kaedah normatif dan atau sesuai dengan nilai-nilai hukum dalam masyarakat sebagaimana disarankan oleh para ahli hukum Sociological Jurisprudence. Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat fungsi hukum tidak semata-mata sebagai alat kontrol sosial tetapi juga memiliki fungsi sebagai sarana rekayasa atau pembaharuan sosial atau lebih dikenal sebagai “law as a tool of social engineering”.
UU ITE dari kaca mata Sociological Yuriprudence
Erlich sebagai penganut Sociological Yuriprudence menyatakan bahwa hukum yang ideal adalah hukum yang sesuai dengan ide-ide hukum masyarakat; cita-cita hukum masyarakat yang dikonkritisasi dari nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Atas dasar pernyataan Erlich tersebut, apakah pembaharuan (pembentukan) hukum dalam kaitannya dengan pembangunan di Indonesia telah sejalan dan selaras dengan nilai-nilai hukum masyarakat? Apakah masyarakat sebagai warga negara tetap masih diberi kewenangan untuk menyatakan persetujuannya atas suatu produk hukum yang baru dikeluarkan oleh pemerintah? Sudahkah muatan materi peraturan hukum itu dipastikan dapat mengkompromikan konflik-konflik kepentingan di dalam masyarakat, sehingga tidak ada satu golongan masyarakat pun yang merasa dirugikan sebagaimana? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan ungkapan kekhwatiran yang senantiasa muncul di kalangan ahli-ahli hukum hingga saat ini. Jika hukum dipandang sebagai kebudayaan yang merupakan suatu refleksi dari cara berpikir, pandangan dan karakter bangsa, mestinya hukum harus mengandung muatan materi tentang apa yang menjadi harapan masyarakat tanpa mengenyampingkan soal-soal baru yang menuntut untuk diadaptasikan demi mengisi kekosongan aturan hukum yang saat ini (beberapa persoalan hukum) telah menjadi bagian dari kesepakatan dunia atau telah diterima dan diaplikasikan lebih dahulu oleh negara-negara lain dalam konteks hubungan atau kerjasama inter-nasional.
Apabila dihubungkan dengan Sociological Jurisprudence undang – undang ITE selaras dalam ide – ide yang dibawa, dimana manusia berada di atas hukum.Bagi perkembangan hukum di negara kita khususnya dalam rangka pembaharuan hukum, teori Ehrlich seyogyanya mendapatkan perhatian yang cukup. Pandangannya tentang living law atau hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat perlu digarisbawahi, supaya dalam pembentukan hukum yang baru benar-benar memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Achmad Roestandi dalam bukunya responsi filsafat hukum mengatakan Di negara kita living law perlu diperhatikan dalam pembentukan hukum yang menyangkut segi kebatinan (innerlijke belivenis), seperti dalam hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris, karena disamping masih bersifat sangat pluralistis, juga masalah ini sangat peka. Namun selain Living Law yang disebutkan diatas maka Cyber Law pada saat sekarang ini sudah menjadi hukum yang benar – benar hidup dalam masyarakat.Hal ini dikarenakan ketergantungan masyarakat terhadap dunia teknologi dan informasi sehingga mereka tidak bisa lepas dari perkembangan ini.
Sampai hari ini hukum yang berlaku di negara kita sebagian masih bukan refleksi dari cara berpikir, pandangan hidup dan karakter bangsa kita, yakni masih peninggalan hukum kolonial. Oleh karenanya O.K. Chairuddin mengatakan dalam bukunya sosiologi hukum dalam upaya menyusun hukum nasional mau tidak mau, suka atau tidak, kita harus melihat atau bercermin pada kebudayaan masyarakat sendiri. Seberapa pun megahnya kebu-dayaan orang lain, itu tetap tidak akan sesuai dengan kondisi masyarakat kita. Apalagi di bidang hukum, ia harus dapat menampung aspirasi masyarakat Indonesia.
Latar belakang kehadiran UU ITE sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Hukum Negara – negara di eropa dan Amerika.Hal ini tidak bisa dinafikan dari perkembangan teknologi yang pesat dari kedua benua tersebut membawa imbas kepada Negara Indonesia. Dan Penggunaan Internet di Indonesia pun sudah membudaya maka tidak salah jika UU ITE lahir dari keinginan –keinginan Masyarakat yang ingin mengatur segala Interaksinya di dunia maya sesuai budaya nya.Indonesia sudah meninggalkan ketaatannya terhadap KUHP dan mengimplementasikan Living Law yang dianjurkan teori Sociological Jurisprudence dengan menggunakan asas lex specialist derogate lex generalist .Maka segala tindakan pidana yang ada di dunia maya dapat diberi sanksi sesuai ketentuan UU ITE
Sebagai contoh Penegakan Hukumnya adalah kasus Prita dan Luna Maya.Mereka dikenakan pasal 27 Ayat(3).Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal itu berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.Namun hadirnya Pasal – pasal diatas tidak disikapi dengan Teori Sociological Jurisprudence oleh penegak hukum dan Stake holder yang menuntut Oleh sebabnya banyak berjatuhan korban –korban yang tidak bersalah.
Teori ini lahir dari masyarakat dan diselesaikan dari kearifan masyarakat itu sendiri.Perlu adanya tahapan-tahapan penyelesaian sengketa dalam menyikapi lahirnya UU ITE ini baik dari Non-litigasi sampai keputusan terakhir di ranah Litigasi.Dan pasal diatas merupakan tahapan terakhir dari proses penyelesaian apabila Masyarakat tidak mendapatkan jalan keluar dan perbuatan yang dilakukan tak termaafkan atau Penghinaan yang berimbas ke ranah publik.
Dengan Praktek UU ITE diatas kembali dipertanyakan apakah hukum yang berlaku sekarang telah berstruktur sosial Indonesia serta adaptif dengan situasi globalisasi yang melingkupinya sebagaimana dimaksudkan oleh Albert. Realitas yang ada di Indonesia saat ini adalah adanya missinkronisasi antara nilai-nilai dengan norma-norma hukum yang berlaku. Nilai-nilai yang ingin dimunculkan adalah nilai-nilai sosial budaya Indonesia, tetapi norma-norma hukum yang muncul adalah norma-norma yang bernuansa Eropa yang nota benenya adalah liberal-kapitalis.,Dengan Lahirnya UU ITE ini tidak menutup kemungkinan akan lahirnya penjajahan baru terhadap masyarakat, terutama pengguna jasa internet seperti Prita dan Luna.
1.
B.
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
1.
SEJARAH
Pada
dekade-dekade awal abad keduapuluh, muncul pengkajian yang melepaskan diri dari
“self-sustaining analysis” positivisme dengan menempatkan hukum dalam
konteks sosialnya. Di Amerika Serikat, Roscoe Pound tampil untuk
mengartikulasikan kajian sosial terhadap hukum secara lebih rinci yang kemudian
bahkan menjadi suatu aliran tersendiri dalam ilmu hukum disebut sociological
jurisprudence.[4]
Aliran
ini tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat oleh seorang pioneernya yakni
Roscoe Pound melalui karya besarnya yang berjudul “Scope and Purpose of
Sociological Jurisprudence” pada tahun 1912.[5]
Lili
Rasjidi, mengemukakan perbedaan antara sociological jurisprudence dengan
sosiologi hukum. Kalau sociological jurisprudence merupakan suatu mazhab
dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan
masyarakat dan sebaliknya, maka sosiologi hukum mempelajari pengaruh masyarakat
kapada hukum dan sejauhmana gejala-gejala yang ada di dalam masyarakat itu
dapat mempengaruhi hukum tersebut, di samping itu juga diselidiki sebaliknya
pengaruh hukum terhadap masyarakat.[6]
Aliran
ini lahir dari proses dialektika antara yang sebagai tesisi adalah aliran hukum
positif dan yang sebagai antitesis adalah mazhab sejarah yang kemudian
menghasilkan sintesis yang berupa sociological jurisprudence. Aliran
hukum positif memandang tiada hukum kecuali perintah yang diberikan oleeh
penguasa (law is command of lawgiver), sebaliknya mazhab sejarah
menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Aliran hukum
positif lebih mementingkan akal sementara mazhab sejarah lebih mementingkan
pengalaman, dan sociological Jurisprudence menganggap keduanya sama
pentingnya. Sintesis Sociological Jurisprudence dimaksudkan berusaha
menekankan adanya sisi hukum dan sisi masyarakat secara bersamaan.[7]
1.
PEMIKIRAN
HUKUM SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Teori
ini adalah salah sattu teori yang mempelajari pengaruh hukum terrhadap
masayarakat dan sebagainya dengan pendekatan dari hukum kemasyarakat.[8] Roscoe Pound berpendapat bahwa
hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Selain itu dianjurkan untuk mempelajari
hukum sebagai suatu proses (law in action) yang dibedakannya dengan
hukum yang tertulis (law in books).[9]
Pragmatisme
Amerika, merupakan basis ideologi teori Pound tentang Keseimbangan
Kepetingan. Seturut pragmatisme di negerinya, Pound cenderung menghindari
konstruksi-konstruksi teori yang terlampau abstrak seperti umumnya teori-teori
yang muncul di Eropa. Bagi Pound, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam
konsep logis-analitis ataupun tenggeelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis
yang terlampau eksklusif. Sebaliknya, hukum itu mesti didaratkan di dunia
nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.[10]
Pada
dasarnya,’kondisi awal’ struktur suatu masyarakat selalu berusaha dalam kondisi
yang kurang seimbang, ada yang selalu dominan, dan ada pula yang terpinggirkan.
Untuk menciptakan ‘dunia yang beradab’, ketimpangan-ketimpangan struktural itu
perluu ditata ulang dalam pola keseimbangan yang proporsional. Dalam konteks
keperluan tersebut, hukum bersifat logis-analitas dan serba abstrak
(sosiologis), tidak mungkin diandalkan. Hukum dengan tipe tersebut,
paling-paling hanya mengukuhkan apa yang ada. Ia tidak merubah keadaan. Karena
itu, perlu langkah progresif yaitu memfungsikan hukum untuk menata perubahan.
Dari sinilah muncul teori Pound tentang law as a tool of social engineering.[11]
Menurut
Pound, pada saat terjadi imbangan antara kepentingan dalam masyarakat maka yang
akan muncul adalah kemajuan hukum. Roscoe pound mengadakan tiga pergolongan
utama terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Pertama,
Public interests, yang meliputi kepentingan negara sebagai badan hukum
dalam tugasnya untuk memelihara hakikat negara dan kepentingan negara sebagai
penjaga dari kepentingan sosial. Kedua, kepentingan orang perorangan di
dibedakan oleh Pound menjadi tiga kepentingan lagi, yakni kepentingan pribadi
(fisik, kebebasan, kemauan, kehormatan, privasi, kepercayaan dan
pendapat), kepentingan-kepentingan dalam hubungan di rumah tangga, dan
kepentingan mengenai harta benda. Ketiga, kepentingan sosial, moral
umum, pengamanan sumber-sumber daya sosial, kemajuan sosial dan kehidupan
individual.[12]
Sebagai
pemikir Sociological Jurisprudence, Pound mengusulkan agar para ahli
hukum beraliran sosiologis perlu lebih memperhitungkan fakta sosial dalam
pekerjaannya, apakah pembuatan hukum, penafsiran, atau penerapan peraturan.
Sebab bagi Pound, kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya. Pound menolak
studi hukum sebagai studi tentang peraturan, melainkan keluar dari situ dan
melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum.[13]
Fokus
utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest balancing, dan
karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan
mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Bagi Pound, antara hukum dan
masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. Dan karena kehidupan hukum
terletak pada karya yang dihasilkannya bagi dunia sosial, maka tujuan utama social
angineering adalah mengarahkan kehidupan sosial itu ke arah yang lebih
maju. Menurtnya, hukum tidaklah menciptakan kepuasan, tetapi hanya memberi
legitimasi atas kepentingan manusia untuk mencapai kepuasan tersebut dalam
keseimbangan.[14]
Hukum
sebagai sarana social engeenering, bermakna penggunaan hukum secara
sadar untuk mencapai tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan,
atau untuk melakukan perubahan yang diinginkan. Hukum, tidak lagi dilihat
sekedar sebagai tatanan penjaga status quo, tetapi juga diyakini sebagai
sistem pengaturan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara terencana.[15]
Tokoh
signifikan berikutnya dari aliran ini ada pada pendangan-pandangan Urgen
Ehrlich. Eugen Ehrlich sangat menentang adanya kekuasaan tidak terbatas yang
diberikan kepada penguasa karena dipandangnya akan memberikan sarana kepada
penguasa untuk mengadakan penyimpangan hukum terhadap masyarakat. Secara
konsekuen Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang
mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan
nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran itu harus
ada pada setiap anggota profesi hukum yang bertugas mengembangkan hukum yang
hidup dan menentukan ruang lingkup hukum positif dengan hukum yang hidup.[16]
Aliran
sociological jurisprudence melihat masyarakat dari pendekatan hukumnya
yang salah satu rinciannya meliputi fungsi dari hukum terhadap masyarakat.
Fungsi hukum adalah sebagai kerangka ideologis perubahan struktur dan kultur
masayarakat.[17]
Dalam
paradigma sociologiscal jurisprudence yang melihat fungsi hukum dari
hukum terhadap masyarakat dengan spesifikasi fungsi hukum sebagai kerangka
ideologis perubahan struktur dan kultur yang dimaksud menyangkut sebuah proses
transformasi struktur dan kultur yang tidak mudah.[18]
Peran Strategis Hakim dalam Perspektif Sociological Jurisprudence
Kehidupan hukum sebagai kontrol
sosial terletak pada praktek pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut. Tugas
hakim dalam menerapkan hukum tidak melulu dipahami sebagai upaya social
control yang bersifat formal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus
mendisain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas
yudisial hakim tidak lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang
terhadap peristiwa konkrit (berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai
sekedar corong undang-undang (boncha de la loi) tetapi juga sebagai
penggerak social engineering. Para penyelenggara hukum harus
memperhatikan aspek fungsional dari hukum yakni untuk mencapai perubahan,
dengan melakukan perubahan hukum selalu dengan menggunakan segala macam teknik
penafsiran (teori hukum fungsional).
Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang
cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi
terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai
wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan
hukum dan orientasi hukum.
Pendekatan sociological jurisprudence dalam hukum
internasional banyak terjadi di bidang hukum perdata internasional terutama
jika dikaitkan dengan lembaga ketertiban umum dimana nilai-nilai yang
menyimpang di masyarakat diamggap menyalahi aturan
Pendekatan sosiological Jurisprudence terhadap Hukum Internasional
Hukum Perdata Internasional (HPI) adalah cabang ilmu hukum perdata yang memiliki anasir, elemen, unsur, atau nuansa asing. HPI adalah hukum nasional, dan sekali-kali bukan suatu hukum yang bersifat supranasional ataupun hukum internasional. Oleh karena itu, setiap negara di dunia ini memiliki sistem HPI-nya masing-masing, misalnya HPI Indonesia, HPI Belanda, dan seterusnya .
Dalam ilmu HPI, keberlakuan hukum asing di ranah hukum nasional bukanlah sesuatu yang kontroversial apalagi haram sifatnya. Sebaliknya keberlakuan hukum asing justru merupakan suatu peristiwa yang lumrah. Suatu akibat dari saling pengakuan dan kesetaraan sistem hukum di dunia ini (gelijkwaardeigheids-beginsel). Hal yang pertama dikenal sebagai asas comitas, dan yang terakhir merupakan asumsi dasar dari ilmu HPI. Sejauh mana suatu hukum asing dapat diberlakukan di ranah hukum nasional harus memperhatikan perasaan masyarakat hukum nasional bersangkutan.
Secara teoritis, keberlakuan hukum asing untuk suatu permasalahan hukum adalah
mungkin untuk dikesampingkan dan, sebagai gantinya, diberlakukanlah hukum nasional. Di sini perlu ditegaskan, bahwa keberlakuan hukum asing tersebut sama sekali tidak dibatalkan, melainkan hanya dikesampingkan. Konstruksi hukumnya adalah hukum asing tersebut sebenarnya berlaku, tetapi karena satu dan lain hal keberlakukannya tersebut terpaksa dikesampingkan demi kemaslahatan masyarakat hukum nasional.
Lembaga pengesamping tersebut dikenal sebagai lembaga ketertiban umum. Lembaga ini merupakan padanan hukum Indonesia untuk “openbare orde” (Belanda), yang mengadopsi konsep “ordre public” (Perancis). Tujuan tertentu yang hendak dicapai dari pengesampingan tersebut adalah untuk menjaga perasaan masyarakat hukum dari masyarakat hukum nasional bersangkutan.
Alasan pengesamping yang dapat dikemukakan dan penerapan dari alasan tersebut harus bersifat terbatas. Jika tidak demikian, maka keberlakuan hukum asing dapat dengan mudah, dan cenderung seringkali untuk, dikesampingkan. Akibatnya asumsi dasar dari ilmu HPI _ mengenai kesetaraan sistem hukum _ akan menjadi nihil, dan perkembangan ilmu HPI itu sendiri akan menjadi mandeg.
Pendekatan sosiological Jurisprudence terhadap Hukum Internasional
Hukum Perdata Internasional (HPI) adalah cabang ilmu hukum perdata yang memiliki anasir, elemen, unsur, atau nuansa asing. HPI adalah hukum nasional, dan sekali-kali bukan suatu hukum yang bersifat supranasional ataupun hukum internasional. Oleh karena itu, setiap negara di dunia ini memiliki sistem HPI-nya masing-masing, misalnya HPI Indonesia, HPI Belanda, dan seterusnya .
Dalam ilmu HPI, keberlakuan hukum asing di ranah hukum nasional bukanlah sesuatu yang kontroversial apalagi haram sifatnya. Sebaliknya keberlakuan hukum asing justru merupakan suatu peristiwa yang lumrah. Suatu akibat dari saling pengakuan dan kesetaraan sistem hukum di dunia ini (gelijkwaardeigheids-beginsel). Hal yang pertama dikenal sebagai asas comitas, dan yang terakhir merupakan asumsi dasar dari ilmu HPI. Sejauh mana suatu hukum asing dapat diberlakukan di ranah hukum nasional harus memperhatikan perasaan masyarakat hukum nasional bersangkutan.
Secara teoritis, keberlakuan hukum asing untuk suatu permasalahan hukum adalah
mungkin untuk dikesampingkan dan, sebagai gantinya, diberlakukanlah hukum nasional. Di sini perlu ditegaskan, bahwa keberlakuan hukum asing tersebut sama sekali tidak dibatalkan, melainkan hanya dikesampingkan. Konstruksi hukumnya adalah hukum asing tersebut sebenarnya berlaku, tetapi karena satu dan lain hal keberlakukannya tersebut terpaksa dikesampingkan demi kemaslahatan masyarakat hukum nasional.
Lembaga pengesamping tersebut dikenal sebagai lembaga ketertiban umum. Lembaga ini merupakan padanan hukum Indonesia untuk “openbare orde” (Belanda), yang mengadopsi konsep “ordre public” (Perancis). Tujuan tertentu yang hendak dicapai dari pengesampingan tersebut adalah untuk menjaga perasaan masyarakat hukum dari masyarakat hukum nasional bersangkutan.
Alasan pengesamping yang dapat dikemukakan dan penerapan dari alasan tersebut harus bersifat terbatas. Jika tidak demikian, maka keberlakuan hukum asing dapat dengan mudah, dan cenderung seringkali untuk, dikesampingkan. Akibatnya asumsi dasar dari ilmu HPI _ mengenai kesetaraan sistem hukum _ akan menjadi nihil, dan perkembangan ilmu HPI itu sendiri akan menjadi mandeg.
Contoh : UU Ps 28 Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentangkehakiman, Hakim wajib menggali tetang kehidupan.atau tertuan didalam pasal 5 ayat 1 Undang-undang
No.48 tahun 2009 menyatakan bahwa Pasal 5 (1)
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
2. Apa peran hakim dalam penemuan hukum dan penciptaan hukum
diera Reformasi
Didalam
kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum dalam menciptakan
kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataan hukum atau
peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang
timbul didalam masyarakat sehingga menimbulkan dan menyulitkan penegakan hukum
dalam menyelesaikan perkara yang akan diselesaikan oleh Pengadilan.
Didalam pasal 5
ayat 1 Undang-Undang No. 48 tahun 2009, menyatakan bahwa Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup didalam masyarakat.
Artinya seorang
hakim harus mempunyai kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum ( Rech
vinding ), yang dimaksud dengan rech vinding adalah proses pembentukan hukum
oleh hakim ataupun aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan hukum didalam
peristiwa yang konkrit. Dan hasil penemuan hukum menjadi dasar baginya untuk
mengambil keputusan ( Prof.Dr.Sudikno mertukusumo,SH.Hal 47 )
Menurut,Van
Apeldorn menyatakan bahwa seorang hakim harus,
1.
Menyesuaikan Undang-Undang dengan fakta konkrit.
2.
Menambah Undang-Undang apabila perlu.
Hakim membuat
Undang-Undang karena Undang-Undang tertinggal dari perkembangan masyarakat.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dan juga berfungsi sebagai penemu yang
dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana juga yang bukan hukum. Seolah-olah hakim yang berkedudukan
sebagai pemegang kekuasaan legislatif yaitu badan pembentuk
per-Undang-undangan.
Pasal 21 AB
menyatakan bahwa hakim tidak dapat memberikan keputusan yang akan berlaku
sebagai peraturan umum.
Sebenarnya
hukum yang dihasilkan hakim tidak sama dengan produk legislatif. Hukum yang
dihasilkan hakim tidak diundangkan dalam lembarang negara, keputusan hakim
tidak berlaku pada masyarakat umum melainkan hanya berlaku bagi pihak-pihak
yang berperkara. Sesuai pada pasal 1917 ( 2 ) KUHPerdata yang menentukan “
Bahwa kekuasaan dan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang
diputuskan dalam perkara tersebut.
Akan tetapi
para ahli hukum mengetahui bahwa undang-undang tidak akan pernah lengkap.
Disitulah letak peran hakim untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan
dengan kenyataan yang berlaku dalam masyarakat agar dapat mengambil keputusan
hukum yang sungguh-sungguh adil sesuai dengan tujuan hukum.
0 comments:
Post a Comment